Ketika keceriaan meriah meresap ke setiap sudut kota seperti gelembung sampanye, ketika jalan-jalan dihiasi dengan umbul-umbul segitiga yang berkibar, dan ketika bangunan-bangunan diselimuti dengan air terjun pita berlipit warna-warni, kita secara naluriah merasakan kegembiraan dan vitalitas yang tak tertahankan. Dekorasi yang semarak ini—dengan kasih sayang disebut "bunting"—membawa warisan maritim yang kaya dan signifikansi budaya yang hanya sedikit orang yang berhenti untuk mempertimbangkan.
Istilah "bunting" menelusuri asal-usulnya ke Eropa abad ke-17, khususnya Inggris, di mana pada awalnya mengacu bukan pada bendera dekoratif tetapi pada "tammy"—kain wol ringan yang ditenun halus. Bahan yang tahan lama dan mudah diwarnai ini menjadi sangat diperlukan bagi Angkatan Laut Kerajaan Inggris, karena sifatnya yang responsif terhadap angin membuatnya ideal untuk bendera sinyal. Pengrajin angkatan laut selanjutnya meningkatkan kain melalui teknik pengepresan panas, menciptakan kilau khas yang meningkatkan visibilitas di laut.
Selama berabad-abad, bunting beralih dari penggunaan angkatan laut khusus ke aplikasi dekoratif yang lebih luas. Bahan-bahan bervariasi dari wol menjadi katun, plastik, dan kertas, sambil mempertahankan karakteristik inti dari warna-warna cerah dan semangat perayaan. Saat ini, dekorasi yang berkibar ini tetap penting untuk festival dan perayaan publik di seluruh dunia.
Bunting sering muncul dalam perayaan nasional dan acara politik, di mana warnanya sering mencerminkan bendera nasional. Dalam tampilan Hari Kemerdekaan AS, kombinasi merah-putih-biru mewujudkan nilai-nilai demokrasi, sementara bunting triwarna Prancis mewakili cita-cita revolusioner. Desainer modern telah memperluas bentuk segitiga tradisional untuk menyertakan bintang, hati, dan bahan ekologis, mengubah bunting menjadi ekspresi artistik dan pernyataan lingkungan.
Di luar estetika, pengaturan ini berfungsi sebagai landasan budaya, memperkuat memori kolektif dan kebanggaan nasional. Penggunaan strategis mereka di ruang publik mendorong kohesi sosial sambil merayakan warisan bersama.
Sebelum teknologi radio, bunting membentuk tulang punggung komunikasi angkatan laut. Kapal-kapal menggunakan kombinasi bendera yang kompleks—bervariasi berdasarkan warna, bentuk, dan urutan—untuk menyampaikan data navigasi, sinyal marabahaya, dan perintah taktis. Istilah "bunts" masih menunjukkan petugas sinyal angkatan laut, melestarikan peninggalan linguistik sejarah maritim ini.
Meskipun teknologi modern telah mengurangi ketergantungan praktis pada sinyal bendera, mereka tetap penting dalam perlombaan kapal layar dan konteks seremonial. Kode Sinyal Internasional masih menstandarisasi komunikasi bendera maritim, dengan setiap panji warna-warni mewakili huruf atau angka tertentu ketika dikibarkan dalam formasi yang tepat.
Ahli bahasa memperdebatkan asal-usul kata tersebut, dengan teori mulai dari "bunt" (berwarna-warni) dari bahasa Jerman hingga istilah Inggris Kuno yang menggambarkan kain yang berkibar. Terlepas dari etimologi, perjalanan budaya bunting—dari kebutuhan angkatan laut hingga hiasan meriah—mencerminkan daya tarik abadi umat manusia terhadap tampilan yang semarak dan simbolis.
Seiring dengan berkembangnya masyarakat, spanduk yang berkibar ini terus menjembatani masa lalu dan masa kini. Baik menandai tonggak sejarah nasional atau perayaan komunitas, bunting tetap ada sebagai bahasa visual kegembiraan, warisan, dan pengalaman manusia bersama.